SBSINews – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap industri sawit Indonesia masih bermasalah karena masih mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan dalam praktiknya.
Pelapor Khusus untuk Hak Atas Pangan Dewan HAM PBB, Hilal Elver, mencatat perluasan perkebunan sawit selama beberapa tahun terakhir masih memunculkan sejumlah masalah seperti penggundulan hutan hingga sengketa kepemilikan tanah antara perusahaan dan warga lokal.
“Kelapa sawit menjadi bisnis yang menggiurkan di Indonesia tapi sayangnya ini datang dengan masih mengorbankan sejumlah hal seperti hak asasi manusia dan lingkungan seperti degradasi tanah, deforestasi, konflik, hingga eksploitasi pekerja perkebunan,” ucap Elver dalam jumpa persnya di Jakarta, Rabu (18/4).
Tak hanya PBB, Uni Eropa telah lama menyebut industri sawit Indonesia bermasalah karena tidak ramah lingkungan dan tidak sustainable atau berkelanjutan.
Parlemen Uni Eropa yang mengesahkan proposal bertajuk “Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources” dalam pemungutan suara di Kantor Parlemen Eropa, 17 Januari lalu.
Proposal energi tersebut mengatur bahwa negara Uni Eropa akan menggunakan sedikitnya 35 energi terbarukan dari keseluruhan penggunaan energi pada 2030.
Tak hanya itu, proposal tersebut juga menghapus dan tidak lagi menganggap produk biodisel atau bahan bakar yang berasal dari makhluk hidup dan tanaman seperti kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan.
Dengan begitu, penjualan serta penggunaan produk sawit di Eropa akan semakin terbatas. Sementara itu, benua Biru selama ini menjadi importir terbesar minyak sawit Indonesia.
Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia yang mampu memproduksi 35 juta ton minyak setiap tahunnya, Elver mengaku kelapa sawit sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan warga Indonesia terutama petani lokal.
Namun, pelapor khusus Dewan HAM PBB bidang pangan itu menyatakan bahwa hal itu tak berarti pemerintah terutama pelaku bisnis sawit boleh mengesampingkan dampak negatif produksi komoditas tersebut terhadap lingkungan dan HAM.
“Perusahaan harus benar-benar dibawah kontrol Indonesia. Jika pemerintah tidak bisa mengontrol korporasi, pelanggaran manusia dalam dunia bisnis bisa menjadi kasus serius di Indonesia,” kata Elver.
Elver mencontohkan, masih banyak warga lokal terutama petani kecil dan masyarakat adat yang terlibat sengketa tanah dengan perusahaan perkebunan bahkan pertambangan.
Jika dibiarkan, Elver mengatakan warga lokal tersebut akan kehilangan hak atas tanah mereka sepenuhnya. Hal ini, menururtnya semakin mempersulit mereka mendapat hak atas pangan yang memadai, membuat masyarakat kecil semakin rentan terhadap kemiskinan.
“Sekitar 25 juta keluarga petani di Indonesia merupakan petani kecil yang hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektare. Ini tidak cukup membantu mereka keluar dari kemiskinan,” kata Elver.
“Belum lagi jika tanah kecil yang mereka [petani] miliki disengketakan oleh perusahaan karena ketidakjelasan registrasi sertifikat tanah di pemerintah. Ini semakin memutus akses mereka atas pekerjaan mereka. Sebagian besar masyarakat adat juga mengandalkan lahan yang mereka miliki untuk menanam tanaman pangan untuk kebutuhan mereka,” lanjutnya.
Moratorium
Elver mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang menghentikan sementara pemberian izin baru untuk industri kelapa sawit.
Menurutnya moratorium ini bisa memberi kesempatan pemerintah untuk meninjau kebijakan dan pengelolaan bisnis sawit. Penangguhan izin juga bisa digunakan pemerintah guna memastikan pelaku bisnis sawit melakukan usahanya sesuai dengan hukum dan standar hak asasi manusia.
“Saya juga inginmendorong agar pemerintah meningkatkan transparansi dan memastikan pertisipasi seluruh pemangku kepentingan yang relevan mengenai isu-isu yang berkaitan dengan sawit, termasuk usulan RUU tentang kelapa sawit oleh DPR,”
Selain itu, Elver juga mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan proses analisis dampak lingkungan (AMDAL) sebelum memberikan izin usaha suatu perusahaan perkembunan dan pertambangan.
“Penduduk lokal yang terkena dampak langsung usaha juga harus memiliki akses ke pemulihan ketika hak mereka dilanggar ole perusahaan. Korporasi yang melakukan pelanggaran dalam hal ini juga harus bertanggung jawab,” kata pelapor khusus HAM PBB bidang Pangan tersebut.
(Sumber: CNN Indonesia)