Oleh: KH Abdul Moqsith Gazali
Beberapa tahun terkahir, NU dan bangsa Indonesia menghadapi yang namanya media sosial (medsos) atau pemukiman sosial baru. Hal ini yang tidak terjadi pada era-era sebelumnya. Baik di kepemimpinan Nahdlatul Ulama sebagai penjaga dan penegak NKRI, maupun pada pemerintahan saat ini.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH Abdul Moqsith Ghazali, ini merupakan tantangan cukup berat, terutama bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang mengutamakan dan menjaga kebersamaan di tengah perbedaan.
“Tantangan cukup berat karena di era media sosial ini, orang tidak berburu mencari fakta dan kebenaran sehingga kebohongan yang diulang-ulang seolah menjadi sebuah kebenaran,” ujar Kiai Moqsith saat mengisi Tadarus Islam Nusantara akhir pekan lalu di Kampus STAINU Jakarta.
Bahkan, menurutnya, matematika yang merupakan ilmu pasti, itu sudah tidak pasti lagi. Ia memberi gambaran, berapa orang yang datang ke aksi 212 lalu, itu matematika gagal. Bagaimana sebuah kelompok secara masif mempengaruhi masyarakat dengan hitung-hitungan jumlah yang selama ini tidak ada yang pernah menghitungnya.
“Karena seseorang atau kelompok orang sudah tidak menemui fakta, kemudian bagaimana mereka mempengaruhi orang dengan persoalan-persoalan yang belum pasti tersebut,” terang Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini.
Kiai Moqsith juga mengungkapkan, bangsa Indonesia saat ini hidup dimana fundamentalisme dan radikalisme terus merajalela. Bisa dilihat di Amerika, negara-negara Eropa dan Afrika, terorisme terus berkembang.
“Apa yang terjadi di Monas adalah materialisasi dari percakapan di media sosial. Jadi orang yang tidak akrab dengan media sosial, mungkin tidak akan tahu ada apa di media sosial. Medsos yang menjadi salah satu instrumen strategis dalam penyebaran radikalisme harus terus diantisipasi,” tuturnya.
Dia juga memberikan penekanan kepada warga NU agar tidak terpengaruh berita-berita palsu atau hoax yang kian mengkhawatirkan di media sosial. Menurutnya, persoalan tersebut menjadi pekerjaan besar bagi pengurus, akademisi, aktivis, dan generasi muda NU untuk berjuang bersama memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahkan kepada kiai-kiai pesantren yang kurang akrab dengan media sosial.
“Kalau sampai radikalisasi hidup di dalam pikiran warga NU itu sendiri, ini alarm. Karena asal mula radikalisasi berasal dari berita-berita hoax yang masuk ke dalam gadget dan para kiai serta warga NU juga mengikuti grup-grup Whatsapp. Menerima informsi begitu saja. Bayakngkan, atas dasar berita hoaxtersebut, mereka bertindak dan bersikap tanpa mencari fakta dan kebenaran yang sesungguhnya,” papar Kiai Moqsith.
Sebab itu, NU melalui STAINU dan berbagai wadah lain mempunyai tugas penting tetapi berat, yaitu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Itu yang dulu secara personal, menurutnya, sering dilakukan oleh Gus Dur.
“Gus Dur tidak pernah lelah dan letih mengunjungi para kiai dan menjelaskan mengenai peta politik global, peta politik Indonesia, apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta. Mungkin karena kita sibuk dengan diri sendiri, sibuk di Jakarta dengan berbagai pekerjaan sehingga kita mengikhlaskan para kiai menerima informasi dari orang lain. Ini jangan sampai terjadi,” tandasnya. (Sumber: NU online)