sumbr: Tribun Timur News.com

“Sebuah Refleksi Perjuangan Buruh Harian Lepas di Perkebunan dari masa ke masa”

Oleh:  Henrik Hutagalung

Buruh adalah asset perusahaan yang mendatangkan penghasilan dan keuntungan bagi Perusahaan, dengan mengeluarkan keringat serta tenaga untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya, itulah rutinitas keseharian mereka dengan tidak terpikirkan untuk memiliki mobil mewah, rumah mewah apalagi menikmati tour keluar kota atau keluar negeri.

Pukul 06.00 pagi sebelum bekerja di lahan mereka berbondong-bondong untuk apel pagi untuk mendengarkan arahan assiten dan mandor,  selesai arahan bagi pemanen mereka bekerja di ancak (lahan) tempat mereka bekerja sehari-hari, dan lahan yang lainnya buruh perawatan (pemupuk lahan), penyemprot dan penebas semak belukar) atau pekerja lainnya. Sistem kerja yg di berikan cukup bervariasi.  Ada sistem waktu delapan jam sehari dalam seminggu dengan lima hari kerja, tujuh jam sehari  dalam seminggu enam hari kerja serta hari libur atau  istirahat. Bagi yang mau bekerja pada hari libur atau hari istirahat di hitung lembur atau ada sistem borongan.

Untuk menjaga agar semua ini berjalan dengan baik, oleh perusahaan di buatkanlah Perjanjian Bersama (PB) atau Peraturan Perusahaan (PP) bahkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)  namun diatas segalanya tidak menjadi mutlak diimplementasikan.  Dari Perjanjian/Peraturan tersebut yang diterapkan di lapangan adalah peraturan yang timbul seketika dan itu yang dijadikan SOP Perusahaan. Hal ini sungguh tragis sekali.

Kehadiran Serikat Buruh dilingkungan  perusahaan diharapkan membawa perubahan bagi nasib Buruh namun upaya tersebut juga di jegal oleh pihak perusahaan dengan mendirikan Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan (SPTP) yang notabene semua pengurusnya adalah management perusahaan sehingga dengan seenaknya mereka mengclaim bahwa buruh mereka adalah anggotanya. Hadirnya UU 21 Tahun 2000 Tentang Kebebasan Berserikat juga di harapkan membawa dampak yang positif bagi Buruh. Namun hal ini hanya sekedar isapan jempol belaka, disaat Buruh mendirikan SB maka hukuman yang diterima adalah intimidasi dalam bentuk mutasi atau PHK. Mirisnya lagi ketika semua ini di laporkankan kepihak yang berwajib, sampai saat ini belum pernah ada yang diproses secara pidana. Kebebasan berserikat buruh sudah dikekang oleh kaum kapitalis.

Untuk menjamin Perlindungan dalam bekerja dan menjamin Kesejahteraan Buruh,  Pemerintah telah mengundangkan UU Nomor 03 Tahun 1999 Tentang Jamsostek, dan UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang BPJS dengan harapan agar setiap buruh terlindung dan ada jaminan dalam kehidupannya sehari-hari.

Pada saat menjalankan aktivitas mereka seperti halnya (Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua) dengan berbagai jaminan tersebut masih ada yang belum mendapatkannya bahkan sangat banyak yg tidak mendapatkan jaminan tersebut.

Dengan peralihan JAMSOSTEK ke BPJS semakin sempurnalah perlidungan dan jaminan yg di dapatkan Buruh, Jaminan Kesehatan di kelola oleh BPJS Kesehatan begitu juga dengan Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Kehadirian UU Nomor 24 Tahun 2014 sungguh di luar dugaan ternyata masih banyak buruh yg tidak didaftarkan sebagai peserta BPJS, yang sakit tidak dapat berobat, yang mengalami kecelakaan kerja di telantarkan, yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun di PHK tanpa mendapatkan pesangon.

Wahai kaum buruh mengapa kalian diam saja dan tidak bersuara untuk menuntut itu semua. Apakah kalian takut kehilangan pekerjaan ? Apakah kalian takut di PHK ? atau takut tidak dapat upah ? Dari beberapa Undang-Undang yang ada tersebut hadir juga UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerja yang di harapkan menjadi surat sakti bagi Perjuangan Buruh.  Mengenai PHK yang di atur dalam Pasal 151, Pengusaha, pekerja/buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.  Dari pasal ini upaya yg telah dilakukan tetap berujung pada PHK dengan alasan telah terjadi disharmonis.

Pemerintah yang memiliki power segalanya masih juga tidak bisa menunjukkan kekuasaanya untuk mempertahankan buruh agar tidak di PHK tersebut menurut Pasal 151 terkesan pemerintah juga membela pengusaha sehingga bertambahlah pengangguran di Republik ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here