Kritik tidak di larang ,tetapi kritik lah dengan cerdas , bukan kritik yang menghakimi dan terkesan cuma ingin pansos
Jelas bahwa untuk menjadi putra bangsa yang memiliki nilai tambah dan kontributif bagi bangsa dan negara itu tak cukup hanya diukur dari sekedar IPK yang konon katanya ‘Hamdalah Cum Laude, di atas 3,5.’
Kalau hanya IPK, rasanya penulis juga ingin menyombongkan diri bahwa IPK-nya dijamin lebih baik lagi. Tapi untuk apa? Karena hingga sesepuh ini, penulis belum bisa berbuat apapun untuk bangsa dan negara tercinta.
Apalagi bila harus dibandingkan dengan seorang Joko Widodo yang bisa menjabat Wali Kota Solo dua periode, dan hebatnya terpilih menjadi salah satu wali kota terbaik dunia. Lalu dilanjut menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini menjadi Presiden Indonesia untuk dua periode yang prestasinya diakui dunia.
Lalu pernahkan dunia menanyakan IPK kepada sosok tukang kayu yang juga sukses menjadi seorang pengusaha yang produknya di export ke berbagai negara? Pernahkan juga IPK-nya menghambatnya untuk membangun negeri yang kini kerap diganggu kaum munafikun yang hobby melempar ujaran kebencian tapi berlindung di balik kata kritik?
“Proses belajar mengajar di sebuah perguruan tinggi itu sejatinya untuk merubah seseorang menjadi lebih berilmu yang dibarengi dengan kepribadian yang kuat, sehingga ilmunya aplikatif dalam kehidupan bermasyarakat yang sesungguhnya. Jadi bukan angka-angka yang berupa pertanda kelulusan saat ujian.”
Di era revolusi industri 4.0 ini, ijazah, gelar, dan IPK saja tidak menjamin kompetensi. Tapi bagaimana kita bisa adaptif dengan perubahan yang berbuah karya dan berguna bagi banyak orang Setidak-tidaknya bisa menjadi profesional, bukan sekedar banyak bicara yang kontra produktif dan bikin gaduh.
Salam Revolusi
Wahyu Sutono