SBSINews – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menggelar Sidang perdana gugatan Supres Omnibus Law pada Selasa, 19 Mei 2020. Agenda sidang perdana ini adalah pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim terhadap para pihak terkait administrasi dan teknis gugatan. Meskipun di tengah krisis pandemic Covid-19, sidang tetap dilaksanakan secara offline dengan bertatap muka langsung antara Majelis Hakim dengan para Pihak, Penggugat maupun Tergugat. Kuasa hukum dari Tergugat dalam hal ini Presiden RI hadir yang diwakili oleh Divisi Litigasi Kementerian Sekretariat Negara.

Persidangan dimulai Pukul 10.25 WIB, yang dimulai dengan pemeriksaan surat kuasa pihak Tergugat, meskipun pihak Tergugat hanya berbekalkan surat tugas. Majelis Hakim memberi kesempatan bagi pihak Tergugat membawa surat kuasa. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian masukan oleh Majelis Hakim terkait perihal teknis surat kuasa dan gugatan yang diajukan Penggugat. Sidang akan dilanjutkan pada Selasa, 2 Juni 2020 mendatang dengan agenda lanjutan pemeriksaan persiapan.

Dalam persidangan kuasa hukum Tergugat memperlihatkan Surat Presiden yang dimaksud dalam objek gugatan Para Penggugat. Saat diminta salinannya oleh Kuasa Hukum Penggugat, dengan spontan dijawab oleh Kuasa Hukum Tergugat dengan mengatakan bahwa dokumen tersebut merupakan dokumen rahasia. Jawaban ini membuat kening berkerut, sebab jika diperiksa dalam ketentuan Undang-undang nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP 14/2000) untuk menyatakan sebuah memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik bersifat rahasia sesuai ketentuan Pasal 17 huruf i UU KIP 14/2008, maka terlebih dahulu wajib melalui proses uji konsekuensi sebagaimana ketentuan Pasal 19 UU KIP 14/2008 yang menyatakan:

“Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap Orang.”

Terkait dengan Surat Presiden tersebut di atas, belum dilakukan uji konsekuensi oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) karena Kuasa Hukum Tergugat dalam proses pemeriksaan tadi tidak dapat menunjukan putusan PPID hasil uji konsekuensi yang menyatakan Supres tersebut bersifat dikecualikan atau rahasia. Alasan tersebut hanya mengada-ngada, akan tetapi meski demikian, Tim Kuasa Hukum penggugat hanya diperkenankan mencatat nomor dan isi Surpres Omnibus Law Tersebut oleh Majelis Hakim. Sekali lagi ini menunjukkan watak sesungguhnya dari penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law ini yang sejak awal tidak terbuka dan menutup rapat-rapat pintu partisipasi warga.

Selain itu, hal lain yang tidak biasa ialah adanya pengerahan polisi berskala besar. Sejak pagi sejumlah pasukan kepolisian terlihat di area sekitar gedung PTUN, berjaga-jaga sambil memegang senjata hingga persidangan tertutup selesai. Kami meminta agar aparat kepolisian menghormati persidangan yang berjalan tanpa melakukan intimidasi, atau menciptakan ketidaknyamanan di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar yang sedang dijalankan pemerintah dan membiarkan rakyat menggunakan haknya yang dijamin konstitusi untuk mendapatkan keadilan dari proses hukum yang berjalan dengan bebas dan aman. Pengamanan yang berlebihan dan tidak proporsional merupakan bentuk pemborosan uang negara dikala perekonomian sedang sulit.

Gugatan Supres Omnibus Law oleh para penggugat ini, diajukan ke PTUN Jakarta untuk menyatakan batal atau tidak sah Surat Presiden mengenai penyerahan kewenangan pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Pengadilan mewajibkan Presiden mencabut Surat Presiden tersebut.

Selain itu, memerintahkan Presiden untuk menunda pelaksanaan pembahasan RUU di DPR selama sidang gugatan ini berlangsung. Permohonan ini dilatarbelakangi oleh kondisi Darurat Kesehatan Covid-19, kita berharap Presiden dan DPR dapat bijak menentukan prioritas dalam situasi saat ini. Selain itu, dalam situasi diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar terdapat potensi terjadinya pengulangan pelanggaran prinsip keterbukaan, transparansi dan non-diskriminasi dalam proses pembahasan di DPR, tidak semua orang dapat terlibat dalam proses pembahasan di DPR, jika untuk makan saja sudah sulit apalagi untuk beli pulsa dan paket data yang diperlukan untuk mengikuti video streaming sidang DPR.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi

21/05/2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here