(Ahmad Huzein Rahmadani, salah seorang korban yang meninggal dunia)

POLRES Malang sudah meminta pertandingan itu digeser ke sore hari. Pukul 15.30. Jangan malam hari, pukul 20.00.

Polisi sudah mengantisipasi apa yang rawan. Ini bukan pertandingan biasa. Ini Arema lawan Persebaya.

Arema FC juga sudah setuju digeser ke sore hari. Dikirimlah surat ke PSSI Pusat. Tanggal 12 September 2022. Dalam hal ini ke PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Jawaban dari LIB ditulis tanggal 19 September 2022. Isinya: pertandingan dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Yakni malam hari. Surat balasan LIB itu ditandatangani direktur utamanya, Ir Akhmad Hadian Lukita MBA QWP.

Arema, kata surat itu, diminta melakukan koordinasi secara optimal ke Polres. Tidak dirinci apa yang dimaksud optimal di situ. Maka jadilah pertandingan tersebut malam hari.

Sebelum mengirim surat balasan itu, LIB rupanya mengadakan rapat lebih dulu dengan apa yang disebut host broadcast. Lembaga inilah yang punya hak siar televisi atas semua pertandingan Liga 1 Indonesia. Tahun ini, siaran langsung Liga 1 hanya bisa dilihat di Indosiar dan Vidio.Com.

Jelaslah ini masalah rating penonton TV. Pihak TV sudah telanjur menyusun acara selama satu tahun. Perubahan atas satu acara bisa mengacaukan acara lainnya. TV telah membayar mahal untuk mendapat hak siar. Juga sudah menandatangani iklan untuk semua acaranya.

Memulai pertandingan pukul 20.00 sebenarnya ditentang se-Indonesia. Bonek juga demo ke PSSI soal jam seperti itu. Berhasil. Persebaya tidak pernah lagi main malam.

Antisipasi lainnya sudah dilakukan Arema: panitia tidak menyediakan tempat untuk suporter Persebaya. Langkah ini bagus. Sudah benar. Bisa mengurangi potensi ketegangan. Toh Stadion Kanjuruhan pasti bisa dipenuhi oleh suporter Arema sendiri. Bahkan saksi mata menyebutkan penonton yang tidak bisa masuk stadion pun masih sekitar 20.000 orang.

Stadion Kanjuruhan tidak di kota Malang. Itu di Kepanjen, jauh di selatan kota Malang. Di situlah sekarang ibu kota kabupaten Malang. Jarak dari Stadion Gajayana di kota Malang dengan Stadion Kanjuruhan di Kepanjen 25 km.

Kanjuruhan diambil dari nama kerajaan abad ke-6 di sekitar Malang. Raja Kanjuruhan yang terkenal adalah Gajayana.

Polisi sudah benar dengan analisisnya. Panitia sudah benar dengan suratnya ke LIB. Juga sudah benar tidak mengalokasikan jatah kursi untuk suporter Persebaya. Tapi toh terjadi bencana sepak bola yang demikian tragisnya: lebih 125 orang meninggal dunia. Itu angka terbesar kedua di dunia. Untuk sejarah kelam sepak bola. Itu mengalahkan tragedi Heysel ketika Liverpool bertemu Juventus di final Piala Champion. Di tahun 1985. Yang meninggal 39 orang. Tragedi Kanjuruhan juga jauh lebih besar dari tragedi Hillsborough 15 April 1989. Yang sampai sekarang, hampir 35 tahun kemudian, masih terasa ngerinya: yang meninggal 96 orang. Yakni saat final piala FA Inggris antara Liverpool vs Nottingham Forest di kota netral Sheffield. Hanya kalah oleh tragedi Estadio Nacional, Peru, pada 1964 yang menewaskan 328 orang.

Kalau saya lihat video-video peristiwa Kanjuruhan yang beredar, tidak seharusnya tragedi Kanjuruhan terjadi. Biar pun Arema kalah 2-3 oleh Persebaya. Tidak ada perang suporter –karena tidak ada supporter Persebaya. Bonek sendiri juga lagi kecewa dengan tim Persebaya –kalah beruntun, pun dengan tim seperti Rans United FC milik artis Rafi Achmad.

Wasit malam itu juga tidak terlalu menimbulkan kekecewaan penonton. Saya melihat banyak sekali kemajuan di perwasitan Indonesia: setidaknya sudah bisa banyak tersenyum. Dulu ulah wasit sering jadi penyebab ketidakpuasan suporter. Kasus-kasus salah semprit memang masih terjadi tapi sudah jauh menurun. Penempatan wasit tambahan di dekat gawang juga bagus sekali.

Wasit juga bukan faktor penyebab tragedi Kanjuruhan.

Permainan tim Arema sendiri juga tidak mengecewakan. Memang, tumben, sempat kalah 0-2 di awal babak pertama, tapi segera menjadi 2-2 sebelum turun minum. Bahkan bisa mendominasi serangan di sepanjang babak ke-2.

Keberhasilan mengubah 0-2 menjadi 2-2 memang menimbulkan harapan besar untuk menang. Apalagi lantas mendominasi serangan. Bahkan boleh dikata, Arema sempat mengurung Persebaya. Saya menyaksikannya di rumah secara live. Dua kali tendangan pemain Arema nyaris menjebol gawang Persebaya. Sayang masih mengenai tiang gawang.

Mendominasi serangan, mengurung, mengenai gawang adalah suasana yang membuat dada siapa pun sesak: kok tidak masuk-masuk. Padahal harapan mereka harus menang.

Arema baru saja kalah di kandang sendiri: lawan Persib Bandung. Masak kalah lagi. Lawan Persebaya pula.

Maka gemes itu memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu Arema sendiri.

Kubu Persebaya menangkap apa yang akan terjadi bila tidak tahu diri. Maka, meski menang, tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Para pemain langsung menuju lorong ke arah ruang ganti pakaian. Pun tidak mampir sekadar bersalaman ke tempat pelatih berada. Pemain cadangan dan ofisial Persebaya juga langsung menuju ruang ganti baju.

Sampai di sini belum terjadi kerusuhan. Hanya teriakan dan lemparan. Tapi suasana memang mulai mencekam. Rencana tim Persebaya melakukan selebrasi di ruang ganti pakaian pun dibatalkan. Pemain hanya diberi waktu 5 menit untuk ganti baju. Mereka harus segera menuju kendaraan taktis polisi. Mereka diamankan. Agar bisa keluar dari kompleks stadion dengan selamat. Empat kendaraan taktis sudah disiapkan di depan stadion. Cukup untuk semua tim Persebaya. Aman. Mereka berhasil bisa masuk rantis semua.

Di dalam stadion pemain dan ofisial Arema FC masih di tengah lapangan. Mereka akan melakukan apa yang biasa dilakukan setelah pertandingan: kumpul di tengah, membuat lingkaran dan menghormat ke penonton.

Tapi suasana tidak seperti biasanya. Stadion yang penuh dengan 40.000 penonton tidak segera longgar. Mereka tetap di stadion. Tidak banyak yang meninggalkan tempat untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Mereka masih belum mau beranjak. Masih ribut dengan teriakan. Juga lemparan.

Para pemain Persebaya menunggu di dalam rantis polisi: kapan kendaraan taktis itu bergerak meninggalkan stadion. Tapi kendaraan tidak kunjung bergerak. Tidak bisa bergerak. Jalan keluar dari stadion itu penuh oleh manusia. Para pemain Persebaya sempat selebrasi di dalam kendaraan polisi itu tapi hanya satu menit. Selebrasi mereka terhenti oleh kilatan nyala api tidak jauh dari mereka. Ada mobil yang terbakar. Ini berarti gawat. Apalagi kendaraan mereka masih tetap berhenti di tempat.

Di dalam stadion, para pemain yang berkumpul di tengah lapangan berinisiatif bersama-sama berjalan ke arah tribun penonton. Gestur tubuh mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Mereka melangkah pelan ke arah tribun.

Tiba-tiba terlihat satu penonton meloncat pagar. Ia lari masuk lapangan. Ia menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Penonton itu terlihat merangkul kiper. Lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi sesegera itu beberapa penonton lagi berhasil meloncati pagar. Mereka juga menuju pemain Arema. Kian banyak saja yang berhasil meloncati pagar. Lapangan pun mulai penuh dengan penonton.

Petugas keamanan bertindak. Terlihat di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Menendang. Mementung. Memukul.

Adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap. Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.

Saya pernah membuat kaus dengan tema tulisan seperti itu: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola.

Saya melihat, dari situlah tragedi itu meledak. Ini bukan Arema lawan Persebaya. Bukan Aremania lawan Bonek. Ini penonton lawan petugas.

Ada teriakan Sambo juga di sana.

Mengamankan tim Persebaya ke rantis sudahlah langkah yang jitu. Apalagi kalau bisa segera keluar dari kompleks stadion. Maka prioritas berikutnya, seharusnya, membuka jalan keluar dari stadion. Bukan saja untuk tim lawan, juga untuk mengurangi kepadatan stadion. Pasti banyak juga yang sudah ingin pulang. Sudah sangat malam. Tapi mereka tidak bisa keluar. Buntu.

Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalau pun mereka kecewa kepada tim Arema, itu kekecewaan orang yang mencinta. Tidak akan mencelakakan mereka. Sama dengan kekecewaan Bonek pada tim Persebaya 2022.

Maksimum yang akan terjadi adalah merusak stadion. Seperti yang dilakukan Bonek dua minggu lalu ketika Persebaya kalah oleh Rans United FC 1-2. Stadion Gelora Delta Sidoarjo dirusak. Itu pun hanya mampu merusak pagarnya. Persebaya segera memperbaiki: habis Rp 170 juta. Tidak ada yang luka. Apalagi meninggal dunia.

Maka yang terbaik dilakukan di dalam stadion Kanjuruhan malam itu adalah: mereka yang masuk ke lapangan itu jangan diusir. Jangan dihardik. Diminta saja untuk duduk. Di atas rumput. Seluruh pemain dan ofisial juga memulai duduk. Petugas juga duduk. Biarkan emosi tercurah dulu. Perlu waktu untuk meredakan emosi.

Sama sekali tidak ada faktor yang menakutkan malam itu. Mereka itu satu bangsa: bangsa bola. Tim lawan sudah diamankan. Cukup. Tim tuan rumah tidak akan diapa-apakan –maksimum dimaki-maki atau diludahi. Saya sudah kenyang dengan hal seperti itu. Pun dilempari kencing dalam plastik.

Menghardik mereka hanya menambah emosi. Apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Yang bikin panik. Bikin sesak. Bikin berdesakan.

Kita begitu berduka. Kita juara dunia sepak bola di segi tragedinya.

Kita harus bangkit dengan prestasi. Kalau pun kita dihukum FIFA selama lima tahun, kita manfaatkan itu untuk benah-benah di dalam negeri. Lima tahun mendatang kita buat kejutan internasional. Sekali bebas dari hukuman, prestasi langsung mengejutkan. Di mata dunia. Setidaknya Asia.

(ANFPPM)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here