Saat ini Pemerintah terus mempersiapkan pelaksanaan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Seluruh kajian tentang dua hal ini telah dilakukan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan beberapa kementerian terkait lainnya, namun ketentuan tentang KDK dan KRIS ini belum diterbitkan secara resmi dalam regulasi.

Kehadiran KDK merupakan amanat Pasal 19 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (UU SJSN) sementara KRIS diamanatkan Pasal 23 ayat (4) UU SJSN. Tentang kajian kedua hal ini, uji coba dan implementasinya diatur di Pasal 54A dan Pasal 54B Peraturan Presiden (Perpes) no. 64 Tahun 2020.

Merujuk Pasal 54B Perpres 64 Tahun 2020, manfaat KDK dan KRIS diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Ini artinya, manfaat KDK dan KRIS seharusnya sudah diterapkan saat ini secara bertahap dan diberlakukan secara keseluruhan mulai 1 Januari 2023. Namun hingga kini regulasi yang mengatur KDK dan KRIS belum juga terbit.

Tentunya proses pembuatan regulasi ini pun harus melibatkan masyarakat, seperti amanat Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kajian tentang KRIS pun berubah, yang awalnya kajian mengarah pada dua bentuk KRIS yaitu KRIS PBI dengan maksimal 6 tempat tidur dalam satu kamar perawatan dan KRIS non-PBI dengan maksimal 4 tempat tidur, namun saat ini yang mengemuka hanya satu bentuk KRIS untuk semua peserta JKN yaitu maksimal 4 tempat tidur.

Masyarakat belum mengetahui arah KDK ke depan, apakah masih menerapkan aturan di Perpres No. 82 Tahun 2018 yaitu tetap mengadopsi Pasal 46 sampai Pasal 48 yaitu manfaat jaminan Kesehatan yang dijamin, dan tetap menerapkan Pasal 52 tentang manfaat yang tidak dijamin Program JKN.

Saya khawatir proses penerapan KDK dan KRIS dilakukan secara tergesa-gesa sehingga proses edukasi dan sosialisasi tidak berjalan dengan baik. Dampaknya, masyarakat kurang mengetahui tentang KDK dan KRIS pada saat diimplementasikan secara menyeluruh 1 Januari 2023 nanti, dan ketidaktahuan ini akan menjadi masalah bagi peserta JKN.

Keberhasilan pelaksanaan Program JKN, salah satunya, ditentukan oleh tingkat pemahaman peserta JKN tentang Program JKN itu sendiri. Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN mengamanatkan setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti. Dan Pasal 89 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 pun menekankan Peserta JKN berhak untuk mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraan Jaminan Kesehatan secara menyeluruh menyangkut hak dan kewajiban Peserta/Fasilitas Kesehatan/BPJS Kesehatan, dan mekanisme pelayanan di Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan.

Momentum Perbaikan Layanan
Tentunya penerapan KDK dan KRIS diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, yaitu mampu menghadirkan jaminan Kesehatan yang lebih mudah diakses oleh peserta JKN tanpa diskriminasi serta menjamin semua kebutuhan medis termasuk obat-obatan.

Manfaat jaminan kesehatan yang diatur dalam Pasal 46 sampai Pasal 48 Perpres no. 82 Tahun 2018 sudah baik, namun tentunya manfaat tersebut harus terus ditingkatkan sehingga KDK mencakup keseluruhan pelayanan atas indikasi medis. Peningkatan promotive-preventif melalui penambahan paket manfaat skrining 14 peyakit katastropik dalam JKN, merupakan peningkatan manfaat dari sisi hulu, dengan disertai peningkatan kualitas fasilitas kesehatan seperti Puskesmas.

Masyarakat berharap Pemerintah terus meningkatkan pelayanan Kesehatan berbasis kemajuan teknologi sehingga peserta JKN dapat lebih mudah mengakses pelayanan Kesehatan di fasilitas Kesehatan, termasuk penerapan telemedicine dan telekonsulting di RS. Menambah daftar obat dalam formularium nasional (fornas) memastikan seluruh obat menjadi bagian dari penjaminan program JKN, termasuk jenis obat yang telah dikeluarkan dari fornas maupun obat baru.

BPJS Kesehatan diharapkan terus mengembangkan fitur-fitur layanan dari proses mendapatkan informasi awal, pendaftaran, pembayaran iuran, mendapat identitas peserta, edukasi dan sosialisasi hak dan kewajiban peserta, penggunaan manfaat layanan seperti rujukan dan antrian di faskes, hingga menyampaikan pengaduan serta tindaklanjut pengaduan. Komunikasi harus terus dibangun oleh BPJS Kesehatan dengan peserta JKN dan fasilitas kesehatan sehingga masalah yang selama ini ada bisa diselesaikan secara sistemik.

Meskipun Pasal 68 ayat (1) Perpres No. 82 tahun 2018 melarang fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan menarik biaya pelayanan Kesehatan kepada peserta selama peserta mendapatkan manfaat pelayanan Kesehatan sesuai dengan haknya, namun faktanya hingga saat ini masih ada biaya yang dikeluarkan oleh peserta JKN (out of pocket), seperti membeli obat sendiri, membeli darah, dsb.

Fitur pengaduan yang disediakan BPJS Kesehatan harus mampu mengakomodir laporan peserta JKN dengan lampiran kwitansi biaya yang dikeluarkan, untuk segera ditindaklanjuti oleh BPJS Kesehatan sehingga peserta mendapatkan kembali uang yang sudah dikeluarkan.

Tentang penerapan KRIS, yang diharapkan peserta JKN adalah kemudahan mengakses ruang perawatan di RS, dan pelayanan pada saat dirawat. Selama ini masih ada perlakuan diskriminasi bagi peserta JKN untuk mendapatkan kamar perawatan, demikian juga pada saat dirawat. BPJS Kesehatan harus memperkuat unit pengaduan di fasilitas Kesehatan, seperti yang diamanatkan Pasal 89 ayat (3) Perpres No. 82 Tahun 2018. Diharapkan BPJS Kesehatan pun menyediakan fitur layanan pengaduan khusus untuk mencarikan ruang perawatan di RS kepada peserta JKN yang membutuhkannya.

Tentunya momentum penerapan KDK dan KRIS ini pun harus disertai dengan peningkatan biaya tarif INA CBGS dan Kapitasi. Kementerian Kesehatan harus memberikan kesempatan kepada BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah membangun kesepakatan tentang biaya tarif ini, sebelum menetapkannya dalam regulasi. Kesepakatan ini merupakan amanat Pasal 24 ayat (1) UU SJSN dan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS.

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here