Hentikan Kriminalisasi Nelayan Pulau Bungin Sumbawa
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nelayan Indonesia (LBH Nelayan Indonesia), Abdul Tsani Ramadhan meminta aparat penyidik segera melepaskan nelayan Pulau Bungin di Sumbawa, karena mereka adalah korban persekusi.
Abdul Tsani Ramadhan mengatakan, kondisi geografis dan potensi sumber daya Kelautan dan Perikanan di wilayah Sumbawa dan Sumbawa Barat, sering menimbulkan kecemburuan antar sesama nelayan.
Lalu menggunakan lembaga non pemerintah dan non penegak hukum untuk menangkap nelayan Pulau Bungin secara sepihak. Mestinya penyidik harus selektif dalam menangani kasus dugaan illegal fishing.
“Perlu diketahui, penegakan hukum atas tindakan illegal fishing bukan pada ranah nelayan kecil, seperti kasus ditangkapnya nelayan kecil Pulau Bungin,” ujar Abdul Tsani Ramadhan, Selasa (16/02/2021).
Penegakan hukum terhadap Ilegal Fishing, lanjutnya, hanya berlaku bagi kapal-kapal asing yang menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Justru, paradigma penegakan hukum bagai pisau bermata dua terhadap nelayan, maka dapat menyebabkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat yang rata-rata nelayan kecil.
“Memberlakukan pasal-pasal hukum terhadap nelayan kecil Pulau Bungin yang ditangkap oleh Pokmaswas Desa Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat, merupakan bentuk arogansi sistemik,” jelasnya.
Pasal hukum yang dikenakan kepada nelayan Pulau Bungin adalah pasal yang sama dikenakan sanksinya kepada Kapal-kapal asing. Mestinya, tegas Abdul Tsani Ramadhan, penyidik selektif dan mampu memediasi permasalahan.
Karena sejatinya, Undang-Undang Perikanan tentang Berantas IUUF sudah memiliki mekanisme untuk nelayan kecil.
Harapannya, penegakan hukum tidak semena-mena terhadap nelayan kecil. Pertimbangkan juga faktor ekonomi, yakni pendapatan keluarga masyarakat nelayan Kecil Pulau Bungin Sumbawa.
Dia melanjutkan, arogansi Pokmaswas Poto Tano Sumbawa Barat dalam memahami penegakan hukum terhadap IUUF tidak dipahami secara baik dan benar. Seolah-olah laut KSB hanya milik masyarakat Poto Tano.
“Padahal, berdasarkan zona penangkapan atau WPP. Semua WPP NTB berhak nelayan menangkap ikan, lobster dan lainnya. Tidak bisa dilarang,” jelasnya.
Arogansi Pokmaswas Poto Tano secara sepihak ini, sering terjadi dengan alasan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) diwilayah Poto Tano.
Menurutnya, mestinya proses yang harus ditempuh adalah pembuktian terlebih dahulu. Apakah nelayan yang ditangkap itu memiliki bom dan potas? Padahal yang mereka tangkap tersebut, tidak terbukti melakukan tindak pidana illegal fishing.
Kalau pemahaman dan menjustifikasi setiap nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) merupakan kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah atau resmi. Hal ini hanya berlaku dan definisikan secara internasional atas kejahatan perikanan.
“Bukan diberlakukan pada nelayan kecil seperti tertangkapnya nelayan Pulau Bungin kemarin itu,” jelasnya.
Karena itu, tidak alasan bagi Menteri KKP, Dirjen PSDKP dan BPSDPL Wilayah Bali NTB NTT yang menunjuk penyidik untuk tidak meneruskan kasus tersebut.
“Karena nelayan kecil yang sengaja ditangkap dengan cara-cara persekusi itu,” imbuhnya.
Ke depan, Abdul Tsani Ramadhan menegaskan, tidak boleh terjadi lagi persekusi oleh Pokmaswas dimanapun berada. Karena bisa memicu konflik horizontal dan vertikal di masyarakat.
“Segera terbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut. Karena tidak memenuhi unsur melanggar hukum tindak pidana IUUF,” tandas Abdul Tsani Ramadhan.(ANFPP160221)