Buzzer dan influencer itu seperti makanan haram yang dihalalkan. Jadi buzzer dan influencer itu hanya ada dan diperlukan saat rakyat sedang sakit. Artinya, jika buzzer dan influencer itu ada pada saat sekarang ini, itu mengindikasikan rakyat memang sedang sakit.
Kalau tak salah, Machfud MD pernah bilang, kalau rakyatnya sakit, karena pemerintaha sakit. Adapun penyebab dari pemerintahan yang sakit itu penyebabnya karena kaum intelektualnya yang sakit. Tapi yang pasti bukan lantaran pademi Covid-19 yang semakin gawat menghajar kita. Sebab penyakit yang berputar-putar seperti tersebut diatas tadi, memang sudah cukup lama adanya di negeri kita. Jauh sebelum di impor dari negeri entah berantah.
Sebagai obat, buzzer dan influencer bisa menyembuhkab penyakit akut dalam media sosial kita agar dapat memiliki kemampuan yang cerdas, tangguh dan piawai serta cekatan melakukan perlawanan untuk segera membangun budaya dalam media sosial yang lebih sehat untuk berbagi infomasi serta pengalaman bagi sesama pengguna media sosial di Indonesian.
Jadi buzzer dan influencer itu ada menjadi pertanda dari rakyat sedang sakit, begitulah pemerintah pun sedang sakit, seperti kaum intelektualnya yang katanya menjadi biang dari semua pihak yang sakit itu. Maka itu buzzer dan influencer jadi semacam obat pahit yang juga haram, tetapi perlu untuk penyembuhan penyakit akut yang sudah amat sangat parah mendera.
Begitulah kondisi dan situasinya sekarang. Media maenstrem pun di Indonedia nyaris telak dan keok. Hanya sesekali saja melontarkan jab dan pukulan hock, lebih dari itu permainan tetap dominan dikuasai oleh media sosial. Hanya saja yang menjadi masalah bagi banyak orang, buzzer dan influencer itu
kuat diduga justru telah dibudidayakan oleh pemerintah. Dan dugaan itu pun meluputi pembiayaannya yang memakai uang rakyat. Temuan ICW (Indonesia Coruption Wacth) sudah merealase data itu secara luas, meski masih perlu dikaji validitas dari kebenarannya.